

JP Coen, pendiri Batavia yang selalu merasa curiga pada orang-orang Jawa (yang dimaksud dengan orang Jawa oleh VOC adalah orang Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan bahkan orang dari Kampung Jawa yang sudah ada pada masa itu di Palembang), lebih suka memanfaatkan migran dari Tionghoa untuk menjadi pekerja kasar di Pulau Onrust. Berkat bantuan Souw Beng Kong (migran Tionghoa yang menjadi kapiten pertama untuk komunitas Tionghoa pada awal berdirinya Batavia), sejumlah tenaga terampil dari migran Tionghoa, terutama para tukang kayunya dipaksa untuk bekerja di galangan kapal di Pulau Onrust itu.

Pada abad ke 17 dan 18, Pulau Onrust, mempunyai peranan yang sangat penting bagi kompeni yang sepenuhnya menyandarkan kekuatannya pada kapal layar. Didukung oleh tukang-tukang kayu yang sangat terampil, galangan kapal di pulau kecil ini mampu pula memperbaiki Kapal Endeover yang mengalami kerusakan besar setelah keliling dunia (1770). James Cook, seorang kapten kapal yang juga banyak menuliskan laporan tentang Batavia memujinya dengan sebutan sebagai galangan kapal terbaik di seluruh belahan timur bumi.

Pada tahun 1800 pasukan Inggris datang memblokade Batavia. Mereka kemudian menghanguskan apa saja yang ada di pulau ini. Tidak puas hanya itu, enam tahun kemudian, 1806 mereka datang lagi dan tidak menyisakan apapun dari pulau galangan yang pada abad-abad sebelumnya begitu populer namanya di duinia pelayaran internasional. Keriuhan di Onrust pun seolah terhenti. Pada masa Deandels yang mencanangkan pembangungan Niew Batavia, karena Oud Batavia telah dianggap sudah tidak layak lagi dihuni, sisa-sisa bangunan dari Pulau Onrust juga bangunan-bangunan di Oud Batavia dibongkar. Bahan-bahannya digunakan untk membangun Weltervreden (Kawasan Gambir kini) yang dijadikan pusatnya Niew Batavia, termasuk di dalamnya bangunan Istana Deandels yang sekarang menjadi Kantor Menteri Keuangan di Lapangan Banteng.

Awal abad ke 20, Pulau Onrust kembali diramaikan sejumlah orang. Sekitar tahun 1911 pulau ini dimanfaatkan sebagai sanatorium bagi penderita TBC yang kian banyak jumlahnya di Batavia yang mulai kotor udaranya. Sanatorium ini kemudian dipindahkan ke Pulau Bidadari bersamaan dengan digunakannya Onrust sebagai Pos bagi calon jemaah haji yang akan berziarah ke Mekkah (1920).
Tidak lama kemudian (1933), sejumlah tahanan ditempatkan di pulau ini, termasuk diantaranya ratusan laki-laki Jerman Interniran Sipil terutama setelah Jerman menduduki Belanda. Salah satu warga Jerman yang internir di pulau ini adalah keturunan Yahudi. R. Frukstuck namanya. Semula ia mengungsi dari Jerman ke Singapura pada saat Hitler melakukan Genocida atas emua turunan Smith. Karena di Singapura pun ia merasa terus dikejar Nazi, ia pindah ke Hindia Belanda. Namun karena ia juga masih berkewarganegaraan Jerman, maka ia pun disingghkan di pulau ini bersama interniran Jerman lainnya.
Kemudian Indonesia pun merdeka. Tahanan dan penjaga di Pulau Onrust berhamburan mencari selamat. Pulau Onrustpun tidak Onrust (ramai) lagi. Sementara itu Jakarta nama baru Batavia bersamaan dengan masuknya bala tentara Dai Nippon, mulai dirasakan begitu sesak. Migran dari pelosok Nusantara berlomba masuk ibukota. Pada saat yang sama negara yang baru merdeka ini hanya menyisakan semangat. Uang tidak ada akibatnya begitu banyak penyakit menyerang warga Jakarta. Untuk itu Onrust kembali dimafaatkan. Kali ini untuk mengisolasi orang-orang yang menderita penyakit menular, gelandangan dan pengemis jalanan (1960-1965). Tidak ada catatan yang pasti tentang pulau ini setelah dijadikan tempat isolasi penderita penyakit ,menular dan gelandangan itu. Sampai kemudian Ali Sadikin dilantik Bung Karno menjadi Gubernur Jakarta Raya (1966-1977). Pada masa Bang Ali inilah Onrust dijadikan sebagai salah satu situs sejarah yang dilindungi.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !